AS Secondary Tariffs: Mengejutkan atau Malah Merugikan?

.CO.ID,
Oleh: Syafruddin Karimi dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas
Klaim terbaru oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah membuat goncangan di pasar energi global. Dia mengumumkan bahwa dia berencana untuk memberlakukan bea masukan sekunder antara 25% sampai dengan 50% kepada setiap negara yang melakukan pembelian minyak dari Rusia, kecuali apabila Moskow sepakat pada traktabilitas perundingan damai di Ukraine (Shalal, 2025). Ancaman ini tidak hanya menjadi risiko bagi Rusia saja, namun juga dampak geopolitis signifikan bagi negeri-negeri raksasa seperti India, China serta negara-negara sedang berkembang lainnya yang bergantung pada pasokan energi mereka dari Rusia.
Trump menerangkan, "Apabila saya merasa hal ini adalah kesalahan dari pihak Rusia,... maka saya akan menerapkan tarif tambahan untuk seluruh produk minyak berasal dari Rusia," (Shalal, 2025). Selain itu, ia juga menyebut bahwa perusahaan-perusahaan yang bertransaksi dalam bidang minyak dengan Rusia dilarang melanjutkan operasinya di Amerika Serikat. Pernyataan tersebut disampaikan olehnya dengan nada yang sangat emosional; bahkan Trump mengungkap dirinya sedang marah besar karena kritik Vladimir Putin tentang Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy.
Pernyataan itu menyebabkan ketakutan yang meluas di seluruh dunia. Kini kita tidak hanya harus menghadapi pertikaian militer, tapi juga ancaman dari perselisihan perdagangan skala besar yang dipengaruhi oleh sumber daya energi. Di tengah situasi seperti ini, bea masukan tambahan telah menjadi alat diplomatis untuk memberikan tekanan pada negara-negara sahabat Rusia tanpa perlu bertindak terbuka dan langsung kepada Rusia sendiri.
Secara teoritis, kebijakan ini terlihat strategis: Amerika Serikat berupaya menghimpit Rusia secara tak langsung sambil mendorong negara-negara lain untuk menjauhi pasokan energi dari Moskow. Tetapi di lapangan, kebijakan tersebut penuh dengan tantangan. Bagaimana AS bisa memastikan suatu negara tidak membeli minyak dari Rusia? Bisakah semua mitra perdagangan AS diminta buka rincian kontrak energinya? Bahkan William Reinsch dari Center for Strategic and International Studies meragukan ketentuan teknikal kebijakan ini (Shalal, 2025).
Lebih parahnya lagi, aturan tersebut meluncurkan era baru di mana dominasi ekonomi Amerika Serikat digunakan untuk menentukan kebijakan luar negeri negara-negara lain. Kini hal itu tidak hanya berkaitan dengan pemberontakan terhadap Rusia, tapi juga mencakup kontrol atas pasokan energi global.
Untuk negara-negara sedang berkembang seperti India, keputusan tersebut membawa mereka kepada sebuah dilema. India berperan sebagai pembeli terbesar dari minyak mentah Rusia, menyumbang sekitar 35% dari seluruh impornya di tahun 2024 (Shalal, 2025). Alasan utamanya adalah karena minyak yang berasal dari Rusia disajikan dengan potongan harga signifikan, sehingga sangat menguntungkan bagi upaya mempertahankan laju inflasi dan keseimbangan anggarannya.
Apabila India perlu menjauh dari minyak Rusia untuk mengelakan tarif Amerika Serikat, harganya bakal meroket secara signifikan. Kondisi serupa mungkin juga berlaku bagi banyak negara di Selatan Dunia. Mereka diposisikan antara memerlukan bahan bakar dengan biaya rendah serta ancaman hilangnya akses ke pasaran AS.
Indonesia tidak secara langsung menjadi salah satu pembeli utama minyak dari Rusia, namun negara ini cukup peka terhadap pengaruh global tersebut. Ketika harga bahan bakar naik karena gangguan di pasaran, hal itu bisa membebani subsidi BBM, melemahkan nilai tukar rupiah, yang berujung pada penurunan kemampuan konsumen untuk membeli barang-barang kebutuhan.
AS tidak berharap akan adanya de-dolarisasi, tetapi kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Trump malah dapat mendukung percepatannya. Peluang semakin besar bagi negara-negara seperti Tiongkok dan India untuk meningkatkan sistem pembayaran alternatif mereka. Sistem-sistem serupa CIPS atau menggunakan Yuan dalam perdagangan energi menjadi lebih kuat sebagai upaya mengelak dari tekanan Amerika Serikat. Kelompok-kelompok seperti BRICS kemungkinan bakal tumbuh lebih bersatu karena merasa ditekan untuk "membela posisi" mereka sendiri.
Kebijakan tarif milik Trump bertujuan untuk mengurangi dominansi Rusia. Hal tersebut bisa menyebabkan pecahnya sistem finansial dunia menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Struktur global saat ini, yang sebenarnya telah memberikan Amerika Serikat kendali paling besar, mungkin akan hancur akibat hal itu.
Bagaimana Indonesia Bersikap?
Untuk meningkatkan stabilitasnya, Indonesia sebaiknya memprioritaskan kemandirian energinya sehingga dapat tetap stabil meski menghadapi goncangan dari fluktuasi pasar dunia. Sementara itu, upaya diplomatik juga penting dilakukan dengan lebih kuat lagi guna melindungi kepentingannya dalam situasi geopolitik yang makin rumit dan bervariasi.
Pemerintah harus mengejar kebijakan yang saling terkait guna merespons tantangan energi dunia dengan cara mendapatkan suplai dari beragam partner luar negeri dan pada saat bersamaan meningkatkan stok domestik menjadi pengaman di masa depan jangka pendek.
Sebaliknya, percepatan transisi menuju energi terbarukan harus diprioritaskan untuk meminimalkan ketergantungan pada pasar minyak global yang tidak stabil. Sementara itu, Indonesia juga dituntut untuk secara proaktif mendukung aspirasi negara-negara sedang berkembang di panggung internasional seperti G20 dan ASEAN, dengan penekanan kuat pada penentangan atas tindakan unilaterally yang bisa merusak stabilitas ekonomi dan politik global.
Selain itu, kita perlu meningkatkan kolaborasi dua arah dengan para pemegang saham energi seperti Arab Saudi dan UEA, serta mitra di kawasan lain seperti Malaysia. Tambahan pula, Indonesia dapat mengusulkan suatu struktur kerjasama internasional yang menjaga kedaulatan sumber daya energi dan memberikan hak kepada setiap negara dalam hal penunjukkan partner perdagangan mereka.
Saat ini dunia lebih memerlukan pemulihan, kolaborasi, serta petunjuk jalan untuk mengatasi krisis yang tak henti-hentinya daripada memberi beban tambahan. Menggunakan tariff ekstra sebagai alat diplomasi bukannya akan membantu masalah di Ukraina, tetapi malah bisa menciptakan ketidakstabilan bagi negeri-negeri yang sebenarnya tidak secara langsung terpengaruh.
Dalam situasi ini, Indonesia berperan sebagai negara demokrasi utama di kawasan ASEAN dan menjadi bagian penting dari kelompok ekonomi besar G20 dengan perannya yang strategis dalam membentuk dinamika global yang semakin polarisasi. Karenanya, Indonesia harus tetap waspada dan proaktif saat nilai-nilai kesetaraan dunia sedang dilawan oleh ambisi unilateral yang dapat merusak stabilitas serta sistem internasional.
Referensi:
Shalal, A. (2025, Maret 31). Marah pada Putin, Trump mengancam tarif atas minyak Rusia jika Moskow memblokir kesepakatan Ukraina. Reuters. Diambil dari https://www.reuters.com/world/us/donald-trump/
Posting Komentar untuk "AS Secondary Tariffs: Mengejutkan atau Malah Merugikan?"